KISAH SEPANJANG HIDUP
Di stasiun kereta api Paron, aku merapatkan
mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi.Musim dingin yang hebat.Udara terasa
beku mengigit.Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya.Di
luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin.Ngawi tahun ini terselimuti hujan
tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun
yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi.Ada seorang kakek tua di
ujung kursi, melenggut menahan kantuk.Aku melangkah perlahan ke arah mesin
minuman.Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino
hangat berpindah ke tanganku.Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak
lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku
berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku.Tidak banyak
beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit
keras dan ingin sekali bertemu kakak.Kalau kakak tidak ingin menyesal,
pulanglah meski sebentar, Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk
di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi
aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya
kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera
tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu,
aku tak ingin menyesal.
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang.Kesibukanku
bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Geneng, ditambah lagi mengurus
dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri
sakura ini.Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan
pekerjaan di Ngawi.Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Ngawi. Pada saat aku sendiri
memang sedang di Ngawi dalam rangka urusan sekolah. Setahun setelah perkenalan
itu, kami.Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung
ketika aku mengungkapkan rencana dalam membuat tugas Ibu meragukan kdalam
membuat Karena tentu saja begitu banyak
perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku
harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti
Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing.
Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam
rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga.Hampir saja biduk rumah tangga tak
bisa kami pertahankan.Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami
dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Sepupuku juga
pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan.Sejak menikah
aku mengikuti sepupuku ke rumahnya.Aku sendiri memang sangat kesepian diawal
masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga
mengalihkan perasaanku.Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja
untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku
tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin
membuatku menggigil.Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara
hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi
di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan
nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku
merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi
ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar
dalam ingatanku.
Ibu.. ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu
dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar.Terakhir
ketika aku pulang menemani kakakku, liburan musim panas. Hanya dua minggu di
sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di
Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang
teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan
semuanya.Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku.
"Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inibisikku perlahan
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru
ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja
turun menghalangi pandanganku.Tumpukan salju memutihkan segenap
penjuru.Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMK
kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di indonesia
ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar,
tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat
tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun
terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau pergi lama dengan teman-temannya tanpa izin padaku
atau papanya.Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya.Terus
terang kehidupan remaja yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut
kakak hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada,
menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan
kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga
Diri dengan sebaik-baiknya.Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat,
aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan
sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar.Dia sempat bilang mungkin
itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena
kesibukan bekerja.Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya.Tapi aku
berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang
berangkat dewasa dan jarang di rumah.Dulupun aku bekerja ketika si bungsu aku
telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa
membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya
aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja.Aku jadi
teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya
aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku
bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya,
tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering
mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya.Tentu sikap sepupu
ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku
ingin mencium tangan ibu....
Di luar hujan semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan,
semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih.Juga semakin kabur oleh
rinai air mataku.Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu
mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau.Ibu sendiri sangat taat
beribadah.Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali
mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu
semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji
dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara
Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu
yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti
terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit
bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain
dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas
samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya
membuat aku sedikit tenang.Gumpalan awan putih di luar seperti
gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Ngawi belum banyak berubah.Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku
meninggalkannya.Kembali ke Ngawi seperti kembali ke masa lalu.Kota ini memendam
semua kenanganku.Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti
menarikku ke masa-masa silam itu.Kota ini telah membesarkanku, maka tak
terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis
bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak
sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih
seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu
karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi
ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak
sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang,
bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan
mendekapnya didadaku.Ketika kucium tangannya, butiran air mataku
membasahinya.Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu
itu, mengukir di wajahnya.Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas
rindu.Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu
ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama
tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini
aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.
By: Danang Setiawan